Ristekdikti – Peringkat daya saing (global competitiveness index)  yang dirilis World Economic Forum (WEF) belum lama ini memperlihatkan posisi Indonesia yang menurun. Pada periode 2015-2016 posisi Indonesia masih berada di peringkat ke-37 dari 138 negara, namun untuk periode 2016-2017 turun ke urutan ke-41. Posisi Indonesia ini berada di bawah negara-negara serumpun seperti Singapura (2), Malaysia, (18) dan Thailand (32), kondisi ini bahkan sudah sejak lama.

Pemeringkatan  WEP  ini menggunakan metodologi yang didasarkan pada penilaian atau perhitungan terhadap 12 pilar atau indikator. Ke-12 pilar itu diasumsikan menjadi faktor penggerak dan faktor efisiensi iklim usaha ekonomi suatu negara. Penilaian yang menggunakan  skor nilai angka  skala  1- 7 itu, kemudian menghasilkan peringkat forty one  bagi  Indonesia  sebagaimana diumumkan WEF itu.

Pilar-pilar yang dimaksud meliputi  kondisi-kondisi dari (1) kelembagaan negara bersangkutan,  (2) infrastrukturnya, (3) stabilitas  makroekonomi,  (4) tingkat kesehatan  dan pendidikan dasar, (5) pendidikan  tinggi serta intensitas pelatihan-pelatihan,  (6) efisiensi dalam usaha perdagangan, (7) pasar tenaga kerja, (8) keunggulan pasar  keuangan,  (9) ketersediaan teknologi, (10) keterjangkauan pasar, (11) kecanggihan berbisnis, serta (12) kemampuan inovasi.

WEP juga menghitung  pendapatan perkapita dari tiap-tiap negara. Pendapatan perkapita negara-negara ASEAN yang paling tinggi adalah Singapura, yaitu sebesar 52,888 US Dollar atau sekitar Rp. 58,176,800 perkapita perbulan. Selanjutnya Brunei Darussalam 28,237 US Dollar, Malaysia 9,557, Indonesia 3,362, dan Vietnam 2,088 US Dollar.

Pendapatan perkapita Indonesia setara dengan Rp. 3,698,200 perbulan. Artinya, pendapatan  rata-rata penduduk Singapura adalah 15 kali lebih besar dari rata-rata pendapatan warga negara Indonesia. Singapore negara (imigran) pulau kecil, namun agaknya kita sulit mempercayai perbedaan yang luar biasa itu. Malaysia  masih 3 kali lebih besar dari Indonesia. Sementara Vietnam, sebagai negara yang sedang bangkit, diperkirakan bakal menyusul Indonesia.

Inefisiensi

WEF mengidentifikasi  beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia lemah dalam daya saing. WEF melihat banyak problem di Indonesia seperti (1) inefisiensi birokrasi pemerintah, (2) lemahnya infrastruktur, (3) korupsi,  (4) lemahnya kepastian hukum  terutama  ketenagakerjaan dan aturan-aturan insentif  pajak, (5) inflasi, (6) kurangnya akses pembiayaan bagi kalangan petani, dan (7) adanya  instabilitas  kebijakan pemerintah dan implementasinya.

Melihat  kondisi  terkini  yang dihadapi Indonesia  itu, lantas terbersit sejumlah pertanyaan, karena dari tahun ke tahun daya saingnya tidak kunjung menaik, lantas apakah kemudian  Indonesia  dapat dikategorikan sebagai negara yang lemah (weak states), atau bahkan sebenarnya Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai  negara  yang gagal  (failed states)?

Ini merupakan  pertanyaan  yang merisaukan kita semua, meskipun di lain pihak pertanyaan seperti ini juga dapat dijadikan sebagai tantangan untuk memperbaiki keadaan. Robert Rotberg dari John F Kennedy School of Government (Harvard) Amerika dalam paper-nya Nation-State Failure: Arecurring Phenmenon (2003) mempunyai teori dan ukuran mengenai negara lemah atau negara gagal ini. Menurut Rotberg negara lemah terjadi di negara yang pada umumnya (1) memiliki perbedaan suku, agama, dan bahasa sehingga menjadi hambatan untuk menjadi negara yang kuat, (2) terjadi konflik secara terbuka, dan (3) korupsi sudah menjadi hal yang umum.

Selain itu, karena (4) hukum tidak ditegakkan,  serta yang ke- (5) adanya privatisasi institusi kesehatan  dan pendidikan, yang menurutnya  kedua institusi penting  ini  semestinya  dikuasai penuh oleh negara. la mencontohkan kegagalan negara seperti ini sudah terjadi di Irak, Belarus, Korea Utara, dan Libya.

Sedangkan  negara gagal digambarkan oleh Rotberg sebagai negara yang (1) sangat sukar mencapai targetnya untuk memenuhi  kebutuhan penduduk, (2) umumnya terdapat non-state actors yang berpengaruh dan membantu memenuhi kebutuhan hidup penduduk, (3) keamanan nyaris menjadi hal yang langka kecuali di kota-kota besar, (4) ekonomi tidak berjalan, (5) kualitas kesehatan  memburuk  dan sistem pendidikan terabaikan, serta (6) korupsi semakin marak, dan diperparah dengan (7) inflasi.

Kekuatan Inovasi

Mengingat  tingkat  daya  saing Indonesia  yang  masih  di kisaran peringkat  40-an tentu perlu daya upaya yang besar agar angka daya saing itu tidak terus menurun. Ketika negara ini ingin memperkuat kembali dirinya, apa yang harus dilakukan?

Paling tidak ada 2 (dua) pemikiran untuk hal itu. Pertama, tentu bangsa ini harus kerja-kerja-kerja  memper- baiki berbagai faktor yang menjadi penghambat menurunnya daya saing tersebut.  Ada  yang  mengatakan biang kerok penyebab menurunnya daya saing Indonesia karena korupsi sudah mengakar. Berita-berita men genai anggaran mega proyek KTP- el yang  diduga  dikorupsi  secara berjamaah oleh para pejabat terkait hingga 2,3 trilyun merupakan contoh hangat.

Untuk keberhasilan pemberantasan korupsi tergantung pada punishment berupa hukum yang berat dan tegas dari hakim. Pemberatan  hukuman bagi koruptor tidak dapat diputuskan sendiri oleh hakim namun harus ada terlebih dahulu undang- undangnya.  Demikian  juga untuk usaha memperbaiki atau membangun ke-12 pilar daya saing tersebut harus dilakukan secara terpadu, mengingat ke-12 pilar saling melengkapi  dan mempengaruhi satu sama lain.

Tidak mungkin ada kemampuan inovasi jika ketersediaan  teknologi tidak ada, atau karena lulusan pendidikan tinggi kualitasnya rendah. Bagaimana mau memajukan sebuah sience techno park jika lokasinya ditengah hutan jauh dari infrastuktur  yang diperlukan. Perbaikan  ke-12 pilar daya saing  ini harus  dilakukan  secara bersamaan.

Kedua, negara perlu kembali memperkuat program peningkatan kemampuan inovasi secara nasional. Peran kemampuan inovasi ini menentukan, oleh karena itu pemerintah perlu merencanakannya  secara matang dan terukur hal itu. Mengenai hal ini, Michael E. Porter, pengarang buku Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance (1998) dari Harvard University, mengatakan bahwa keunggulan suatu bangsa itu karena diciptakan, bukan karena kebetulan (given).

Porter mengemukakan bahwa dalam era persaingan  antarnegara yang ketat saat ini, suatu bangsa tidak bisa lagi hanya mengandalkan atau membanggakan kekayaan alamnya yang melimpah atau murahnya tenaga manusia. Porter mengingatkan pentingnya kebijakan pengembangan produktivitas nasional suatu negara melalui kekuatan inovasi ini, yang diarahkan untuk mencapai dan menghasilkan  nilai tambah (added value). Ini merupakan  bagian dari tugas pokok negara.

Dalam skala mikro ekonomi, produktifitas  itu akan  sangat  ditentukan oleh pelaku-pelaku usaha yang berbasis teknologi untuk menghasilkan produk barang maupun jasa yang memiliki daya saing, yaitu melalui kemampuan  pelaku usaha itu untuk melakukan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi,  baik secara mandiri, berkolaborasi ataupun dengan memanfaatkan keluaran yang dihasilkan  lembaga-lembaga riset.

Dalam kaitan itu melalui program pusat unggulan  iptek (PUI) Kemenristekdikti diharapkan lembaga riset dapat menjadi  unggul, inovatif dan berdaya saing. Unggul dalam kegiatan riset, mampu menghasilkan  hasil riset yang inovatif sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat  luas dan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.

Demikian  juga  dengan  program  sience  techno  park  (STP), dari  lembaga ini diharapkan akan lahir pengusaha-pengusaha kecil dan menengahm(UKM) atau para pengusaha pemula berbasis teknologi. Melalui mereka inilah harapan gerak perekonomian di daerah-daerah seluruh Indonesia dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Kemampuan  inovasi merupakan pilar ke-12 global competitiveness index WEF. Namun, kembali lagi, bahwa kemampuan inovasi bangsa Indonesia  akan  muncul  dan  meningkat jika iklim usaha di negara sudah  kondusif. Kondisi seperti ketersediaan teknologi, keterjangkauan pasar, inefisiensi birokrasi pemerintah, lemahnya infrastruktur harus terlebih dahulu dapat diperbaiki oleh negara.

Tentu saja tidak ada satu negarapun  yang  ingin  disebut  sebagai negara lemah apalagi negara gagal, termasuk juga Indonesia, meskipun angka-angka, tanda-tanda ataupun indikator sudah menunjukkan kearah itu.

Artikel ini telah dimuat di laman 

http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017/04/11/memperbaiki-daya-saing-indonesia/